Kritik Islam Terhadap Komunisme dan Kapitalisme Dalam Tinjauan Ekonomi
I. PENDAHULUAN
Sistem ekonomi yang ada di dunia ini dalam perbincangan disiplin
ilmu ekonomi, hanya dikelompokkan menjadi dua. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Samuelson & Nordhaus (1997), sistem ekonomi yang pertama adalah sistem
perekonomian komando (command economy).
Pada sistem ini pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengambil semua
keputusan yang menyangkut soal produksi dan distribusi. Negara juga menguasai
hampir semua sarana produksi (tanah atau modal). Negara memiliki dan mengatur
secara langsung operasi semua perusahaan di berbagai sektor industri. Negara
merupakan majikan dari semua angkatan
kerja. Sistem ekonomi ini biasa disebut dengan sistem ekonomi sosialisme atau
komunisme.
Sistem yang kedua adalah sistem perekonomian pasar (market economy). Dalam perekonomian ini,
individu dan perusahaan membuat keputusan-keputusan utama mengenai produksi dan
konsumsi. Campur tangan pemerintah sangat terbatas. Keputusan ekonomi umumnya
diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini biasa dikenal
dengan sistem ekonomi libelarisme atau kapitalisme.
Namun demikian dalam penerapannya, tidak ada satupun negara-negara
yang ada di dunia ini yang perekonomiannya bersifat komando sepenuhnya atau
bersifat pasar sepenuhnya. Semua negara menjalankan perekonomian yang sifatnya
berada di sepanjang kontinum, dengan perekonomian pasar atau komando pada
masing-masing ujung atau titik ekstrimnya. Dengan kata lain, semua negara saat
ini menjalankan perekonomian campuran (mixed
economy) yang memiliki sebagian ekonomi komando dan sebagian ekonomi pasar.
Kategorisasi yang dapat diberikan kepada suatu
negara untuk dapat digolongkan penganut sistem ekonomi apa, sangat ditentukan
kepada kecenderungannya lebih dekat ke titik mana negara tersebut dalam
mengatur ekonominya. Jika negara tersebut lebih memberikan kebebasan kepada
sektor swasta dalam mengendalikan ekonomi di negara tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa negara tersebut lebih beraliran kapitalisme.
II. SISTEM EKONOMI YANG DIANUT DI INDONESIA
Di Indonesia sendiri, sistem ekonomi yang
pernah diterapkan senantiasa mengalami perubahan dan pergeseran. Di jaman Orde
Lama, khususnya dimulai tahun 1957 dan 1958, telah dilakukan proses
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Pada saat
itulah periode “ekonomi terpimpin” (Guided
Economy) mulai dicanangkan. Mulai saat itu sistem ekonomi Indonesia
dianggap semakin dekat dengan haluan ekonomi sosialis atau komunis (Tambunan,
1988: 3).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dapat dikatakan
bahwa ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis, baik dalam
sistemnya maupun dalam pola perkembangan dan hasilnya. Dengan membaiknya
politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk
ke Indonesia, khususnya PMA dan bantuan luar negeri mulai meningkat. Menjelang
awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia
(IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk
membeayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah
mengubah sistem ekonominya dari sosialisme ke semikapitalisme (Tambunan,
1998: 3-4).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di
Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh
pemerintah kita, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’
kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi
ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Didik J. Rachbini (Republika, 27 Juni 2001), bahwa sektor
swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal
dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi (baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar
negeri).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan
liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia,
yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
Indonesia saat itu, yang akhirnya berpuncak pada meledaknya krisis moneter,
yang ditandai dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia (Ibid).
Pasca krisis moneter, memasuki apa yang digembar-gemborkan sebagai
era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser
sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan boleh dikatakan semakin liberal. Dengan
berkhidmat sepenuhnya kepada garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF,
Indonesia dapat dikatakan benar-benar telah merangkak menuju libelarisasi ekonomi
secara telanjang. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator
utama, yaitu (Triono, 2001):
1.
Dihapuskannya
subsidi dari pemerintah. Hal itu berarti harga dari barang-barang strategis
yang selama ini penentuan harganya ditetapkan oleh pemerintah, maka dengan
dihapuskannya subsidi tersebut, harga komoditi strategis tersebut diserahkan
sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2.
Penentuan nilai
kurs rupiah harus dilakukan secara mengambang bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai
kurs rupiah harus dilakukan secara mengambang bebas, tidak boleh dilakukan
dengan kurs tetap (fix rate). Dengan
kata lain besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3.
Privatisasi
BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran
pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan
pemerintah akan asset-asset ekonomi (industri). Dengan semakin besarnya porsi
privatisasi terhadap BUMN kepada pihak swasta, baik nasional maupun asing,
berarti perekonomian Indonesia bergerak menuju ke arah ekonomi yang semakin
liberal.
4.
Peran serta
pemerintah Indonesia dalam kancah WTO maupun keikutsertaannya dalam perjanjian
GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam WTO dan perjanjian GATT, semakin
memperjelas komitmen Indonesia dalam memasuki era globalisasi ekonomi dunia,
yang merupakan kata lain dari libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme
global.
III. PREDIKSI KE DEPAN
Apabila indikator-indikator tersebut benar, maka Indonesia
benar-benar akan memasuki kancah perekonomian yang sangat mengerikan sekaligus
membahayakan. Dapat diprediksikan Indonesia tidak akan mampu bertahan lama
menghadapi percaturan ekonomi global yang sangat liberal. Sangat dikhawatirkan
perekonomian Indonesia malah semakin hancur tidak mampu menahan gelombang
serangan ekonomi dunia secara bertubi-tubi. Mengapa hal itu akan dapat terjadi?
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perekonomian Indonesia akan
dihadapkan pada tantangan ekonomi dunia yang memiliki hambatan secara
berlapis-lapis, yaitu:
1. Lapis pertama
Memasuki perekonomian global yang bebas, ibarat masukkan seorang
petinju dalam sebuah ring tinju untuk menghadapi berbagai jenis musuh tanpa ada
batasan kelas. Petinju kelas ‘nyamuk’ akan bebas untuk berhadapan dengan
petinju kelas berat atau bahkan super berat. Begitulah yang akan terjadi.
Industri-industri Indonesia yang baru punya pengalaman seumur jagung harus
bersaing secara bebas dengan berbagai produk dari industri-industri raksasa
Amerika, Eropa maupun Jepang yang siap untuk membanjiri pasaran Indonesia.
Produk-produk yang mempunyai kualitas sangat tinggi dengan harga yang sangat
murah karena dihasilkan dari industri yang sudah mempunyai pengalaman puluhan
tahun, dengan peralatan yang super canggih serta dengan tingkat efisiensi yang
mendekati sempurna. Jangankan untuk bersaing di arena internasional, untuk bisa
bertahan di dalam negeripun akan sangat berat.
2. Lapis kedua
Untuk menyelamatkan sekaligus memenangkan pertarungan globalnya,
negara-negara adidaya ekonomi telah menyiapkan seperangkat persyaratan bagi
industri-industri yang ingin memasuki pasar global, terutama untuk
‘memproteksi’ barang maupun jasa yang akan memasuki negara-negara mereka.
Mereka akan mencegatnya dengan berbagai persyaratan yang mereka sebut sebagai
sertifikat ISO 9000. Untuk dapat memperoleh sertifikat tersebut telah
ditentukan persyaratan standar mutu maupun standar manajemen yang sangat berat, dengan prosedur untuk
mendapatkannya ke negara mereka yang prosesnya tidak sederhana, serta biaya
untuk memperolehnya yang tidak murah. Sesuatu yang masih terlalu jauh
diangan-angan bagi industri-industri Indonesia yang kebanyakan adalah industri
kelas ‘tempe’.
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negeri mereka yang begitu
mudahnya memasarkan produknya di negeri mereka sendiri tanpa harus bersusah
payah menggunakan sertifikat tersebut. Sedangkan untuk dipasarkan di negeri
kita, tentunya dengan atau tanpa sertifikat tersebut, produk mereka akan dengan
leluasa dapat memasuki pasar kita, mengingat kondisi rakyat kita yang tidak
pernah peduli dengan sebuah sertifikat untuk mengkonsumsi suatu produk. Yang
penting bagi rakyat kita, asal itu buatan luar negeri pasti bagus dan lebih
bagus dari buatan dalam negeri.
3. Lapis ketiga
Kita akan dihadapkan pada ketentuan adanya hak paten atas suatu
produk ataupun hak intelektual atas suatu temuan ilmiah. Adanya ketentuan yang
telah mereka tetapkan dengan berbagai perangkat hukum yang telah menaungi,
terutama adanya sangsi denda (perdata) maupun pidana yang sangat berat bagi
pelanggarnya, akan semakin membuat ciut bagi nyali kita untuk dapat berkiprah
dalam arena pasar global. Para pengusaha maupun ilmuwan barat yang sedemikian rakus
dan agresifnya untuk berlomba-lomba mematenkan berbagai produk maupun temuan,
baik yang ditemukan sendiri maupun produk-produk khas dari bebagai belahan di
dunia ini, akan membuat semakin sempitnya arena persaingan global tersebut.
Khabarnya berbagai produk khas Indonesia sudah banyak yang
dipatenkan oleh ilmuwan termasuk pengusaha di Jepang maupun Amerika, seperti
produk tempe. Jika aturan itu benar-benar secara ketat mulai diterapkan, maka
pengusaha tempe Indonesia jangankan untuk memasuki pasar ekspor global, untuk
memproduksi tempe untuk pasar domestikpun tidak dapat dilakukan, kecuali harus
dengan seijin dan dengan membayar sejumlah royalty
kepada pihak yang telah mematenkan produk tempe tersebut. Jika ijin dan royalty tidak diindahkan, maka denda
yang sangat besar akan dapat menimpa pengusaha tempe Indonesia.
4. Lapis keempat.
Tidak stabilnya nilai mata uang rupiah, akibat sistem kurs mata
uang bebas. Nilai mata uang rupiah yang hanya disandarkan pada mata uang asing,
khususnya Dollar AS, sangat rentan terhadap goncangan, baik dalam skala
nasional maupun global, baik berkaitan dengan persoalan ekonomi maupun non
ekonomi. Nilai mata uang yang mudah berubah tersebut akan sangat berpengaruh
terhadap segala proses transaksi perdagangan, khususnya ekspor dan impor. Jika
volume ekspor kita bagus dan tengah mengalami peningkatan, secara cepat akan
mudah anjlok bersamaan dengan merosotnya nilai mata uang Dolar AS, demikian
juga sebaliknya. Jika kebutuhan industri dalam negeri kita sangat tergantung
pada komponen impor, maka secara mendadak industri kita bisa langsung gulung
tikar, apabila secara tiba-tiba nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.
Demikian seterusnya.
Dengan tidak stabilnya
nilai mata uang, maka dalam era kompetisi global yang sangat liberal ini, bukan
tidak mungkin “permainan” nilai kurs mata uang dapat digunakan sebagai senjata
yang kasad mata untuk menhancurkan industri-industri lawan yang dianggap akan
menjadi pesaing yang membahayakan. Terlebih lagi nilai mata uang rupiah yang
sangat lemah dan sangat rentan terhadap goncangan dibanding mata uang lainnya
di dunia ini.
5.
Lapis kelima
Besarnya beban hutang luar
negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai 165 miliar
US Dollar, atau setara dengan 1.650 Triliun rupiah (dengan asumsi kurs 10.000
rupiah per US Dollar) akan senantiasa membebani APBN Indonesia.Padahal kewajiban
untuk membayar cicilan hutang luar negeri tersebut akan kembali kepada rakyat
Indonesia sendiri. Untuk dapat selalu menutup cicilan hutang ditambah bunganya,
pemasukan yang senantiasa menjadi andalan APBN adalah dari sektor pajak. Jika
individu, perusahaan maupun industri-industri yang ada di negeri ini senantiasa
terbebani pajak yang senantiasa meninggi, maka itu berarti akan menimbulkan
ekonomi beaya tinggi (high cost economic).
Keadaan itu akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan industri dalam negeri
untuk mampu berkompetisi secara bebas dalam kancah ekonomi pasar bebas yang
telah mengglobal ini, yang sangat menuntut efifisiensi dan efektifitas yang
tinggi untuk dapat memenangkannya.
IV. KEMBALI KEPADA SISTEM EKONOMI KOMUNISME?
Jika
menceburkan diri ke dalam kancah libelarisme ekonomi global prospeknya sangat
mengerikan sekaligus menyeramkan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah:
Untuk menyelamatkan ekonomi kita, haruskah kita segera menggeser sistem ekonomi
kita dari liberalisme kembali kepada sistem komando alias komunisme?
Sejarah
telah mengajarkan kepada ummat manusia, bahwa sistem ekonomi komunisme telah
mengalami kegagalan, dan sudah ditinggalkan oleh negara pengembannya sendiri,
yaitu Uni Soviet maupun RR China. Sistem ini telah terbukti tidak efektif untuk
mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerataan ekonomi yang
pernah dijanjikannya-pun tak pernah terwujud.
Zain (1988) memberi bukti bahwa pengakuan
terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa
Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu
tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa
Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara
tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan. Bahkan mundurnya Chrushov dari
pemerintahan di Rusia pada waktu itu, salah satu penyebab utamanya adalah selalu
terjadinya kemunduran produksi pertanian di Rusia (Zain, 1988: 99-100).
Penyebab utama kegagalan produksi pertanian
tersebut menurut Zain adalah individu-individu yang menggarap lahan pertanian
tersebut selalu berada di bawah tekanan dan paksaan, maka mereka tidak pernah
menggarapnya dengan sebaik-baiknya. Bagi mereka bekerja dengan baik atau tidak,
tidak akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil yang mereka
peroleh. Lain halnya jika lahan itu miliknya sendiri, maka akan ada gairah dan
semangat untuk menggarapnya, karena semakin baik dia bekerja, kemudian hasilnya
menjadi baik, maka dia akan dapat menikmati secara langsung hasil jerih
payahnya. Dengan demikian, menghapuskan kepemilikan sangat bertentangan dengan
fitrah manusia.
Walaupun
kemunculan sistem ekonomi komunisme merupakan kritik keras terhadap sistem
ekonomi kapitalisme, namun kenyataannya komunisme harus terlebih dahulu tumbang
dibanding kapitalisme. Karl Marx, yang dianggap sebagai “Nabi”nya sosialisme
atau komunisme dalam menggagas konsep ekonominya sebenarnya berangkat dengan
mengacu pada teori-teori nilai yang
dikemukakan oleh Adam Smith maupun David Richardo (“Nabi”nya ekonomi
kapitalisme). Dari teori nilai tersebut, Marx menganggap bahwa telah terjadi
perbedaan yang sangat tajam antara upah yang didapatkan oleh pekerja dengan
nilai kerja yang telah dicurahkan oleh pekerja tersebut. Nilai lebih yang
dihasilkan oleh para pekerja itulah yang kemudian disebut dengan surplus labor and value. Marx
menyebutnya dengan istilah “perampasan” yang telah dilakukan oleh para pemilik
modal terhadap kaum pekerja terhadap apa yang disebut dengan pendapatan, laba,
manfaat modal (capital utility)
(Deliarnov,1997: 68-71).
Munculnya
kondisi seperti itu secara terus menerus akan mendorong terjadinya perlawanan
dari kaum yang terdzalimi, atau yang biiasa dikenal dengan perjuangan kelas (class struggle) dalam rangka memperbaiki
ekonominya, sampai munculnya sistem masyarakat yang baru, yaitu masyarakat yang
tanpa kelas atau masyarakat sosialisme. Sebuah masyarakat yang mempunyai tiga
ciri utama, yaitu (Ibid):
1.
Terwujudnya kesamaan (equality)
secara riil.
2.
Penghapusan kepemilikan individu (private
property) secara keseluruhan atau sebagian.
3.
Pengaturan produksi dan distribusi secara kolektif.
Walaupun
Marx menganggap bahwa proses lahirnya masyarakat baru adalah hasil dari sebuah
dialektika sejarah, namun kenyataannya proses dilektika sejarah tersebut tidak
pernah terwujud. Bahkan Karl R. Popper jauh-jauh hari sudah mengkritik logika
berfikirnya Marx tersebut. Popper menilai bahwa tesis pertama, yaitu
meningkatnya kaum tertidas, kemudian anti tesis kedua, yatu terjadinya
pertentangan kelas (revolusi) yang akan menang, adalah sesuatu yang dapat
diterima dan ada kemungkinan benar. Akan tetapi terjadinya sintesis ketiga,
yaitu munculnya masyarakat baru, yaitu masyarakat tanpa kelas adalah sesuatu
yang belum tentu akan terjadi. Menurut Popper, justru yang terjadi adalah
munculnya kelas baru, yaitu kelas kaum penguasa yang menggantikan kaum borjuis,
yang akan menjadi kelompok penindas baru sebagaimana yang terjadi pada negara
Uni Soviet (Koesters, 1987: 61-62).
Dari
paparan di atas kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa sistem ekonomi
komunisme sudah tidak bisa diharapkan lagi.
V. MENGAPA MASIH BERTAHAN DENGAN SISTEM EKONOMI KAPITALISME?
Jika kita menyimak perjalanan ekonomi Indonesia yang sudah babak belur
akibat mencoba bermain dengan kapitalisme, yang menjadi pertanyaan mendasar
bagi kita adalah: Mengapa Indonesia masih bertahan dengan kapitalisme, bahkan
cenderung semakin kapitalis?
Untuk menjawab persoalan ini memang tidak mudah. Namun dengan mencermati
setiap kritik yang senantiasa dilakukan oleh pakar ekonomi terhadap kinerja
perekonomian di Indonesia, kita akan dapat memahami bahwa problem perekonomian
yang terjadi di Indonesia adalah problem para pelaku ekonomi Indonesia, lebih
khusus lagi adalah problem para penguasanya yang dianggap tidak becus dalam
mengelola ekonomi negaranya. Tentunya dalam hal ini termasuk juga para pengusahanya,
industriawannya, para bankirnya yang dinilai tidak mampu mengelola ekonomi
secara profesional, efisien dan efektif, banyak terlibat dalam praktik KKN.
Artinya, penilaian kesalahan selalu dialamatkan pada kinerja pelaku
ekonominya, tidak pernah dilakukan terhadap benar atau tidaknya sistem yang
digunakan itu sendiri. Dengan demikian penilaian atau kritik yang dilakukan
sudah dengan sebuah asumsi bahwa sistem yang digunakan itu sudah benar, jika
ada kegagalan pastilah terletak pada mereka yang menjalankan sistem itu
sendiri.
Dari sudut inilah, penulis menilai sebagai sesuatu yang sangat wajar jika
sistem ekonomi kapitalisme tidak pernah mendapat sorotan, penilaian apalagi
kritikan. Padahal kritik terhadap sebuah sistem ekonomi yang diambil adalah
satu persoalan, demikian juga kritik terhadap kinerja pelaku ekonomi itu juga
persoalan lain. Masing-masing dari keduanya perlu mendapat perhatian. Akan
tetapi kritik dan penilaian terhadap sistem ekonomi jauh lebih penting
dibanding kinerja pelaku ekonomi. Sebab, jika sebuah sistem itu sudah salah
dari sejak lahirnya (cacat lahir), maka sebagus apapun kinerja pelaku
ekonominya, tetap tidak akan dapat membawa hasil bagi lahirnya keadilan ekonomi
yang senantiasa menjadi dambaan setiap insan di dunia ini. Bahkan kita juga
dapat mengatakan bahwa kesalahan sistem akan sangat berpengaruh terhadap
kinerja pelaku ekonominya. Hal inilah yang perlu kita tunjukkan.
Yah.....kirain ada alternatif atau solusi sistem atau konsep ekonomi.
ReplyDeleteTernyata cuma kritik.
ditunggu artikel selanjutnya ya..terimakasih
ReplyDelete