About

Sharing melalui Media Sosial di bawah ini

Tuesday, June 11, 2013

Kritik Islam Terhadap Komunisme dan Kapitalisme Dalam Tinjauan Ekonomi

 

I.              PENDAHULUAN

Sistem ekonomi yang ada di dunia ini dalam perbincangan disiplin ilmu ekonomi, hanya dikelompokkan menjadi dua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuelson & Nordhaus (1997), sistem ekonomi yang pertama adalah sistem perekonomian komando (command economy). Pada sistem ini pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengambil semua keputusan yang menyangkut soal produksi dan distribusi. Negara juga menguasai hampir semua sarana produksi (tanah atau modal). Negara memiliki dan mengatur secara langsung operasi semua perusahaan di berbagai sektor industri. Negara merupakan majikan  dari semua angkatan kerja. Sistem ekonomi ini biasa disebut dengan sistem ekonomi sosialisme atau komunisme.
Sistem yang kedua adalah sistem perekonomian pasar (market economy). Dalam perekonomian ini, individu dan perusahaan membuat keputusan-keputusan utama mengenai produksi dan konsumsi. Campur tangan pemerintah sangat terbatas. Keputusan ekonomi umumnya diserahkan pada kekuatan-kekuatan pasar. Sistem ekonomi ini biasa dikenal dengan sistem ekonomi libelarisme atau kapitalisme.

Namun demikian dalam penerapannya, tidak ada satupun negara-negara yang ada di dunia ini yang perekonomiannya bersifat komando sepenuhnya atau bersifat pasar sepenuhnya. Semua negara menjalankan perekonomian yang sifatnya berada di sepanjang kontinum, dengan perekonomian pasar atau komando pada masing-masing ujung atau titik ekstrimnya. Dengan kata lain, semua negara saat ini menjalankan perekonomian campuran (mixed economy) yang memiliki sebagian ekonomi komando dan sebagian ekonomi pasar.
Kategorisasi yang dapat diberikan kepada suatu negara untuk dapat digolongkan penganut sistem ekonomi apa, sangat ditentukan kepada kecenderungannya lebih dekat ke titik mana negara tersebut dalam mengatur ekonominya. Jika negara tersebut lebih memberikan kebebasan kepada sektor swasta dalam mengendalikan ekonomi di negara tersebut, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut lebih beraliran kapitalisme.

II.            SISTEM EKONOMI YANG DIANUT DI INDONESIA

Di Indonesia sendiri, sistem ekonomi yang pernah diterapkan senantiasa mengalami perubahan dan pergeseran. Di jaman Orde Lama, khususnya dimulai tahun 1957 dan 1958, telah dilakukan proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Pada saat itulah periode “ekonomi terpimpin” (Guided Economy) mulai dicanangkan. Mulai saat itu sistem ekonomi Indonesia dianggap semakin dekat dengan haluan ekonomi sosialis atau komunis (Tambunan, 1988: 3).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis, baik dalam sistemnya maupun dalam pola perkembangan dan hasilnya. Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan bantuan luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membeayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah mengubah sistem ekonominya dari sosialisme ke semikapitalisme (Tambunan, 1998: 3-4).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah kita, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun  sektor perdagangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Didik J. Rachbini (Republika, 27 Juni 2001), bahwa sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi (baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu, yang akhirnya berpuncak pada meledaknya krisis moneter, yang ditandai dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia (Ibid).
Pasca krisis moneter, memasuki apa yang digembar-gemborkan sebagai era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan boleh dikatakan semakin liberal. Dengan berkhidmat sepenuhnya kepada garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia dapat dikatakan benar-benar telah merangkak menuju libelarisasi ekonomi secara telanjang. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):
1.    Dihapuskannya subsidi dari pemerintah. Hal itu berarti harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuan harganya ditetapkan oleh pemerintah, maka dengan dihapuskannya subsidi tersebut, harga komoditi strategis tersebut diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2.    Penentuan nilai kurs rupiah harus dilakukan secara mengambang bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah harus dilakukan secara mengambang bebas, tidak boleh dilakukan dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3.    Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan pemerintah akan asset-asset ekonomi (industri). Dengan semakin besarnya porsi privatisasi terhadap BUMN kepada pihak swasta, baik nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia bergerak menuju ke arah ekonomi yang semakin liberal.
4.    Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO maupun keikutsertaannya dalam perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam WTO dan perjanjian GATT, semakin memperjelas komitmen Indonesia dalam memasuki era globalisasi ekonomi dunia, yang merupakan kata lain dari libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.

III.           PREDIKSI KE DEPAN

Apabila indikator-indikator tersebut benar, maka Indonesia benar-benar akan memasuki kancah perekonomian yang sangat mengerikan sekaligus membahayakan. Dapat diprediksikan Indonesia tidak akan mampu bertahan lama menghadapi percaturan ekonomi global yang sangat liberal. Sangat dikhawatirkan perekonomian Indonesia malah semakin hancur tidak mampu menahan gelombang serangan ekonomi dunia secara bertubi-tubi. Mengapa hal itu akan dapat terjadi? Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perekonomian Indonesia akan dihadapkan pada tantangan ekonomi dunia yang memiliki hambatan secara berlapis-lapis, yaitu: 
1. Lapis pertama
Memasuki perekonomian global yang bebas, ibarat masukkan seorang petinju dalam sebuah ring tinju untuk menghadapi berbagai jenis musuh tanpa ada batasan kelas. Petinju kelas ‘nyamuk’ akan bebas untuk berhadapan dengan petinju kelas berat atau bahkan super berat. Begitulah yang akan terjadi. Industri-industri Indonesia yang baru punya pengalaman seumur jagung harus bersaing secara bebas dengan berbagai produk dari industri-industri raksasa Amerika, Eropa maupun Jepang yang siap untuk membanjiri pasaran Indonesia. Produk-produk yang mempunyai kualitas sangat tinggi dengan harga yang sangat murah karena dihasilkan dari industri yang sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun, dengan peralatan yang super canggih serta dengan tingkat efisiensi yang mendekati sempurna. Jangankan untuk bersaing di arena internasional, untuk bisa bertahan di dalam negeripun akan sangat berat.
2. Lapis kedua
Untuk menyelamatkan sekaligus memenangkan pertarungan globalnya, negara-negara adidaya ekonomi telah menyiapkan seperangkat persyaratan bagi industri-industri yang ingin memasuki pasar global, terutama untuk ‘memproteksi’ barang maupun jasa yang akan memasuki negara-negara mereka. Mereka akan mencegatnya dengan berbagai persyaratan yang mereka sebut sebagai sertifikat ISO 9000. Untuk dapat memperoleh sertifikat tersebut telah ditentukan persyaratan standar mutu maupun standar manajemen  yang sangat berat, dengan prosedur untuk mendapatkannya ke negara mereka yang prosesnya tidak sederhana, serta biaya untuk memperolehnya yang tidak murah. Sesuatu yang masih terlalu jauh diangan-angan bagi industri-industri Indonesia yang kebanyakan adalah industri kelas ‘tempe’.
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negeri mereka yang begitu mudahnya memasarkan produknya di negeri mereka sendiri tanpa harus bersusah payah menggunakan sertifikat tersebut. Sedangkan untuk dipasarkan di negeri kita, tentunya dengan atau tanpa sertifikat tersebut, produk mereka akan dengan leluasa dapat memasuki pasar kita, mengingat kondisi rakyat kita yang tidak pernah peduli dengan sebuah sertifikat untuk mengkonsumsi suatu produk. Yang penting bagi rakyat kita, asal itu buatan luar negeri pasti bagus dan lebih bagus dari buatan dalam negeri.
3. Lapis ketiga
Kita akan dihadapkan pada ketentuan adanya hak paten atas suatu produk ataupun hak intelektual atas suatu temuan ilmiah. Adanya ketentuan yang telah mereka tetapkan dengan berbagai perangkat hukum yang telah menaungi, terutama adanya sangsi denda (perdata) maupun pidana yang sangat berat bagi pelanggarnya, akan semakin membuat ciut bagi nyali kita untuk dapat berkiprah dalam arena pasar global. Para pengusaha maupun ilmuwan barat yang sedemikian rakus dan agresifnya untuk berlomba-lomba mematenkan berbagai produk maupun temuan, baik yang ditemukan sendiri maupun produk-produk khas dari bebagai belahan di dunia ini, akan membuat semakin sempitnya arena persaingan global tersebut.
Khabarnya berbagai produk khas Indonesia sudah banyak yang dipatenkan oleh ilmuwan termasuk pengusaha di Jepang maupun Amerika, seperti produk tempe. Jika aturan itu benar-benar secara ketat mulai diterapkan, maka pengusaha tempe Indonesia jangankan untuk memasuki pasar ekspor global, untuk memproduksi tempe untuk pasar domestikpun tidak dapat dilakukan, kecuali harus dengan seijin dan dengan membayar sejumlah royalty kepada pihak yang telah mematenkan produk tempe tersebut. Jika ijin dan royalty tidak diindahkan, maka denda yang sangat besar akan dapat menimpa pengusaha tempe Indonesia.
            4. Lapis keempat.
Tidak stabilnya nilai mata uang rupiah, akibat sistem kurs mata uang bebas. Nilai mata uang rupiah yang hanya disandarkan pada mata uang asing, khususnya Dollar AS, sangat rentan terhadap goncangan, baik dalam skala nasional maupun global, baik berkaitan dengan persoalan ekonomi maupun non ekonomi. Nilai mata uang yang mudah berubah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap segala proses transaksi perdagangan, khususnya ekspor dan impor. Jika volume ekspor kita bagus dan tengah mengalami peningkatan, secara cepat akan mudah anjlok bersamaan dengan merosotnya nilai mata uang Dolar AS, demikian juga sebaliknya. Jika kebutuhan industri dalam negeri kita sangat tergantung pada komponen impor, maka secara mendadak industri kita bisa langsung gulung tikar, apabila secara tiba-tiba nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan. Demikian seterusnya.      
            Dengan tidak stabilnya nilai mata uang, maka dalam era kompetisi global yang sangat liberal ini, bukan tidak mungkin “permainan” nilai kurs mata uang dapat digunakan sebagai senjata yang kasad mata untuk menhancurkan industri-industri lawan yang dianggap akan menjadi pesaing yang membahayakan. Terlebih lagi nilai mata uang rupiah yang sangat lemah dan sangat rentan terhadap goncangan dibanding mata uang lainnya di dunia ini.
            5. Lapis kelima
            Besarnya beban hutang luar negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai 165 miliar US Dollar, atau setara dengan 1.650 Triliun rupiah (dengan asumsi kurs 10.000 rupiah per US Dollar) akan senantiasa membebani APBN Indonesia.Padahal kewajiban untuk membayar cicilan hutang luar negeri tersebut akan kembali kepada rakyat Indonesia sendiri. Untuk dapat selalu menutup cicilan hutang ditambah bunganya, pemasukan yang senantiasa menjadi andalan APBN adalah dari sektor pajak. Jika individu, perusahaan maupun industri-industri yang ada di negeri ini senantiasa terbebani pajak yang senantiasa meninggi, maka itu berarti akan menimbulkan ekonomi beaya tinggi (high cost economic). Keadaan itu akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan industri dalam negeri untuk mampu berkompetisi secara bebas dalam kancah ekonomi pasar bebas yang telah mengglobal ini, yang sangat menuntut efifisiensi dan efektifitas yang tinggi untuk dapat memenangkannya.

IV.          KEMBALI KEPADA SISTEM EKONOMI KOMUNISME?

            Jika menceburkan diri ke dalam kancah libelarisme ekonomi global prospeknya sangat mengerikan sekaligus menyeramkan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: Untuk menyelamatkan ekonomi kita, haruskah kita segera menggeser sistem ekonomi kita dari liberalisme kembali kepada sistem komando alias komunisme?
            Sejarah telah mengajarkan kepada ummat manusia, bahwa sistem ekonomi komunisme telah mengalami kegagalan, dan sudah ditinggalkan oleh negara pengembannya sendiri, yaitu Uni Soviet maupun RR China. Sistem ini telah terbukti tidak efektif untuk mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerataan ekonomi yang pernah dijanjikannya-pun tak pernah terwujud.
Zain (1988) memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian  komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan. Bahkan mundurnya Chrushov dari pemerintahan di Rusia pada waktu itu, salah satu penyebab utamanya adalah selalu terjadinya kemunduran produksi pertanian di Rusia (Zain, 1988: 99-100).
Penyebab utama kegagalan produksi pertanian tersebut menurut Zain adalah individu-individu yang menggarap lahan pertanian tersebut selalu berada di bawah tekanan dan paksaan, maka mereka tidak pernah menggarapnya dengan sebaik-baiknya. Bagi mereka bekerja dengan baik atau tidak, tidak akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil yang mereka peroleh. Lain halnya jika lahan itu miliknya sendiri, maka akan ada gairah dan semangat untuk menggarapnya, karena semakin baik dia bekerja, kemudian hasilnya menjadi baik, maka dia akan dapat menikmati secara langsung hasil jerih payahnya. Dengan demikian, menghapuskan kepemilikan sangat bertentangan dengan fitrah manusia.
            Walaupun kemunculan sistem ekonomi komunisme merupakan kritik keras terhadap sistem ekonomi kapitalisme, namun kenyataannya komunisme harus terlebih dahulu tumbang dibanding kapitalisme. Karl Marx, yang dianggap sebagai “Nabi”nya sosialisme atau komunisme dalam menggagas konsep ekonominya sebenarnya berangkat dengan mengacu pada teori-teori nilai yang dikemukakan oleh Adam Smith maupun David Richardo (“Nabi”nya ekonomi kapitalisme). Dari teori nilai tersebut, Marx menganggap bahwa telah terjadi perbedaan yang sangat tajam antara upah yang didapatkan oleh pekerja dengan nilai kerja yang telah dicurahkan oleh pekerja tersebut. Nilai lebih yang dihasilkan oleh para pekerja itulah yang kemudian disebut dengan surplus labor and value. Marx menyebutnya dengan istilah “perampasan” yang telah dilakukan oleh para pemilik modal terhadap kaum pekerja terhadap apa yang disebut dengan pendapatan, laba, manfaat modal (capital utility) (Deliarnov,1997: 68-71).
            Munculnya kondisi seperti itu secara terus menerus akan mendorong terjadinya perlawanan dari kaum yang terdzalimi, atau yang biiasa dikenal dengan perjuangan kelas (class struggle) dalam rangka memperbaiki ekonominya, sampai munculnya sistem masyarakat yang baru, yaitu masyarakat yang tanpa kelas atau masyarakat sosialisme. Sebuah masyarakat yang mempunyai tiga ciri utama, yaitu (Ibid):
1.    Terwujudnya kesamaan (equality) secara riil.
2.    Penghapusan kepemilikan individu (private property) secara keseluruhan atau sebagian.
3.    Pengaturan produksi dan distribusi secara kolektif.
            Walaupun Marx menganggap bahwa proses lahirnya masyarakat baru adalah hasil dari sebuah dialektika sejarah, namun kenyataannya proses dilektika sejarah tersebut tidak pernah terwujud. Bahkan Karl R. Popper jauh-jauh hari sudah mengkritik logika berfikirnya Marx tersebut. Popper menilai bahwa tesis pertama, yaitu meningkatnya kaum tertidas, kemudian anti tesis kedua, yatu terjadinya pertentangan kelas (revolusi) yang akan menang, adalah sesuatu yang dapat diterima dan ada kemungkinan benar. Akan tetapi terjadinya sintesis ketiga, yaitu munculnya masyarakat baru, yaitu masyarakat tanpa kelas adalah sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Menurut Popper, justru yang terjadi adalah munculnya kelas baru, yaitu kelas kaum penguasa yang menggantikan kaum borjuis, yang akan menjadi kelompok penindas baru sebagaimana yang terjadi pada negara Uni Soviet (Koesters, 1987: 61-62).
            Dari paparan di atas kita akan segera dapat menyimpulkan bahwa sistem ekonomi komunisme sudah tidak bisa diharapkan lagi.

V.     MENGAPA MASIH BERTAHAN DENGAN SISTEM EKONOMI KAPITALISME?

Jika kita menyimak perjalanan ekonomi Indonesia yang sudah babak belur akibat mencoba bermain dengan kapitalisme, yang menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah: Mengapa Indonesia masih bertahan dengan kapitalisme, bahkan cenderung semakin kapitalis?
Untuk menjawab persoalan ini memang tidak mudah. Namun dengan mencermati setiap kritik yang senantiasa dilakukan oleh pakar ekonomi terhadap kinerja perekonomian di Indonesia, kita akan dapat memahami bahwa problem perekonomian yang terjadi di Indonesia adalah problem para pelaku ekonomi Indonesia, lebih khusus lagi adalah problem para penguasanya yang dianggap tidak becus dalam mengelola ekonomi negaranya. Tentunya dalam hal ini termasuk juga para pengusahanya, industriawannya, para bankirnya yang dinilai tidak mampu mengelola ekonomi secara profesional, efisien dan efektif, banyak terlibat dalam praktik KKN.
Artinya, penilaian kesalahan selalu dialamatkan pada kinerja pelaku ekonominya, tidak pernah dilakukan terhadap benar atau tidaknya sistem yang digunakan itu sendiri. Dengan demikian penilaian atau kritik yang dilakukan sudah dengan sebuah asumsi bahwa sistem yang digunakan itu sudah benar, jika ada kegagalan pastilah terletak pada mereka yang menjalankan sistem itu sendiri.
Dari sudut inilah, penulis menilai sebagai sesuatu yang sangat wajar jika sistem ekonomi kapitalisme tidak pernah mendapat sorotan, penilaian apalagi kritikan. Padahal kritik terhadap sebuah sistem ekonomi yang diambil adalah satu persoalan, demikian juga kritik terhadap kinerja pelaku ekonomi itu juga persoalan lain. Masing-masing dari keduanya perlu mendapat perhatian. Akan tetapi kritik dan penilaian terhadap sistem ekonomi jauh lebih penting dibanding kinerja pelaku ekonomi. Sebab, jika sebuah sistem itu sudah salah dari sejak lahirnya (cacat lahir), maka sebagus apapun kinerja pelaku ekonominya, tetap tidak akan dapat membawa hasil bagi lahirnya keadilan ekonomi yang senantiasa menjadi dambaan setiap insan di dunia ini. Bahkan kita juga dapat mengatakan bahwa kesalahan sistem akan sangat berpengaruh terhadap kinerja pelaku ekonominya. Hal inilah yang perlu kita tunjukkan.

Diambil dari makalah : Ust. Dwi Condro Triono, Ph.d

2 comments:

  1. Yah.....kirain ada alternatif atau solusi sistem atau konsep ekonomi.
    Ternyata cuma kritik.

    ReplyDelete
  2. ditunggu artikel selanjutnya ya..terimakasih

    ReplyDelete

Copyright © 2012 Catatan Dunia Islam All Right Reserved