My Ideology
MENIMBANG IDEOLOGI
Dengan Nalar dan Fitrah Kemanusiaan
Oleh: Ust. Arief B. Iskandar
Pengantar
Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles).
Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada
situasi dimana ia senantiasa membutuhkan—dan bergantung pada—Zat Yang
Tak Terbatas alias Yang Mahamutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah Swt.
Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah Swt. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in
dalam dirinya, bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri
ini telah cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa
yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.
Sayang,
dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan
manusia "tahu diri"; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak
menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat
hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini,
ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap: (1)
Pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang
Pencipta (ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham
materialisme. Materialisme ini kemudian menjadi dasar pijakan ideologi
Sosialisme-komunis. (2) Pengingkaran secara "setengah hati" terhadap
eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme,
yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk
mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk mengatur
manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi
landasan ideologi Kapitalisme-sekular.
Padahal,
alhamdulillah, dengan kasih-sayang-Nya, Allah Swt. telah lama—jauh
sebelum kelahiran ideologi Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular—menurunkan wahyu-Nya kepada manusia untuk membimbing
manusia kembali pada fitrahnya, kembali pada jatidirinya yang asli,
yakni sebagai makhluk yang serba terbatas dan memiliki—secara built-in—religiusitas
dalam dirinya. Wahyu itu tidak lain adalah Islam, yang akidahnya
mengajari manusia untuk meyakini secara total dan sepenuh hati
eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan
manusia. Akidah inilah yang kemudian menjadi basis ideologi Islam
sebagai satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah
manusia.
Tulisan
berikut tidak lain ingin membuktikan kembali "klaim" di atas—yakni
bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi rasional dan sesuai dengan
fitrah manusia—dengan cara membandingkan ketiga ideologi di atas, yakni
Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam; melalui perspektif
yang paling mendasar: akidah.
Realitas Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab: mabda')
adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi
landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M.
Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat
disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern
terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini
berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan
kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan
dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan
setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian
melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm)
untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai
aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang
disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada
kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1)
Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2)
Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang
lahir dari akidah Islam.
Realitas Akidah Materialisme, Sekularisme, dan Islam
1. Materialisme.
Materialisme
adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan
merupakan materi belaka; materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya
secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta
(makhluk). Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi
Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi;
alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003:
3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme,
dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam
adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau
manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai
api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Oleh
karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah ateis
(mengingkari Tuhan). Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa
keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan. Dalam
bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan
"minuman keras" spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin secara
ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual
yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972: 83-87).
Pengingkaran
terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan,
bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme
yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam, dan sarana
kehidupan (alat-alat produksi). Dari sini muncullah ideologi
Sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah materialisme, yang
berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas
manusia yang telah diingkarinya.
2. Sekularisme.
Sekularisme
pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi
tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini
mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur
kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca:
memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara
historis, sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir pada
Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang
menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan
mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang
menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan.
Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari
Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan
(agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran
terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan
bahwa manusialah—melalui mekanisme demokrasi—yang berwenang secara
mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur
tangan Tuhan (agama). Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme-sekular,
yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia; tentu di luar aspek agama yang telah mereka
singkirkan dari kehidupan.
3. Islam.
Islam
adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam,
manusia, dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya
yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt.
Keyakinan
terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian
melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak
membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari
sini lahirlah ideologi Islam, yang juga berisi seperangkat aturan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia; termasuk yang menyangkut aspek
religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang menyangkut agama.
Menimbang Ideologi Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Sosialisme-komunis.
Dalam
perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi
ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di
dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada
yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang
terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas. Itulah Pencipta,
Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki keseimbangan, keteraturan,
harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua itu tidak mungkin
terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan
mengendalikannya.
Adapun
secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa
dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya
selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang
lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau tidak; baik yang mereka
agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau "Tuhan" palsu. Pada faktanya,
orang-orang ateis hanya mengalihkan pengagungan itu—yang seharusnya
kepada Tuhan—menjadi kepada manusia.
2. Kapitalisme-sekular.
Dalam
tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak
otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional.
Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap
manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia,
sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya
sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah Swt.
Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri, apalagi membuat
aturan yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan—dalam hal ini Allah
Swt.—telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan
(Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran
dapat dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu,
menjauhkan otoritas Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia
adalah tidak rasional.
Adapun
secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri
peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan,
pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering
berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia. Lebih
dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat
manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa
nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak
kerusakan, dan menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti
saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada rakyat
melalui mekanisme demokrasi.
3. Islam.
Dalam
perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus
otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional.
Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara
benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt. itu ada, akal pun
dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran
kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara
rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya
pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan
dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang
Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh
aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi
umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi
dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah
Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di
Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang
dilakukan penguasa.
Adapun
secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya
untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas,
serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain.
Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada
faktanya membuktikan bahwa manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi
kehidupannya yang tidak berasal dari dirinya, tetapi bersumber dari
al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.
Kesimpulan
Walhasil, dari paparan di atas, secara nalar (rasio, akal) maupun
fitrah, juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa hanya
Islamlah satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah
manusia. Sebaliknya, Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular adalah
ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah manusia; di
samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak ekses negatif,
kerusakan, dan kekacauan.
Karena
itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah,
sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua
aturan-aturan Islam (syariah), yang memang telah sesuai dengan fitrah
manusia, dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum
Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari ideologi
Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata
bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan
kehidupan umat manusia. Keengganan manusia untuk diatur dengan
aturan-aturan Allah hanyalah merupakan bukti kesombongan, kelancangan,
dan kekurangajaran dirinya di hadapan Penciptanya, Allah Swt., Zat Yang
Mahatahu atas segala sesuatu. Jika kita tetap bertahan untuk berkubang
dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur dengan
aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah Swt.
berikut:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).
Ya,
sekali ini kita patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih baik
dibandingkan dengan hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah
hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular—yang notabene buatan manusia yang serba terbatas,
serba kurang, dan serba lemah—yang lebih baik ataukah
hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia
Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Lalu
mengapa kita tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang berasal
dari Kapitalisme-sekular yang terbukti buruk ini dan tidak segera
beranjak menuju sistem/aturan yang bersumber dari ideologi Islam sebagai
ideologi penebar rahmat?! Telah butakah mata dan kalbu kita?! Na‘ûdzu billah mindzâlik! []
Daftar Bacaan:
‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqd al-Isytirâkiyah al-Marksiyah, t.p., Al-Quds.
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
Lenin, Collected Works, Progress Publishers, Moscow, 1972. Cet. ke-3.
0 comments:
Post a Comment